Berdasarkan
hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan Joko Widodo
(Jokowi) dan Ma'ruf Amin unggul dibanding pasangan Prabowo Subianto dan
Sandiaga Uno. Hal ini menyebabkan pelaku pasar di tahun pemilu ini antusias,
tercermin dari meningkatnya arus modal asing baik di pasar modal maupun
obligasi.
Kepala Makro
Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management
(BTIM) Budi Hikmat menjelaskan dampak Pemilu terhadap pasar modal tahun ini tak
akan sekuat dibanding pemilu sejak era reformasi. Dia mengungkapkan berakhirnya
era super commodity booming yang memicu defisit neraca berjalan selama lima
tahun terakhir merupakan faktor pembeda secara fundamental. Menurut Budi, pada
pemilu sebelumnya, era super commodity booming ini menopang surplus neraca
berjalan yang memperkuat daya beli masyarakat seperti tercermin pada
peningkatan uang beredar M1. "Penjualan big-ticket items seperti kendaraan
bermotor, properti dan semen cenderung meningkat yang meningkatkan laba emiten.
Itu sebabnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melambung naik setiap tahun
pemilu. Namun Pemilu kali ini ditandai dengan pelemahan pertumbuhan M1 yang
sejalan dengan defisit neraca berjalan yang berisiko membatasi kenaikan
IHSG," ungkap Budi Hikmat dalam keterangannya, Senin (22/4/2019).
Menurut Budi ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika melihat arah prospek investasi di
pasar modal. Misalnya dalam keadaan normal Bahana melihat ada lima faktor utama
yang disingkat sebagai ELVIS. "Yakni earning sebagai faktor utama untuk
menarik investor saham. Kedua, liquidity terutama dari luar negeri. Selanjutnya
faktor valuation seperti price to earning ratio. Lalu faktor interest rate
terutama kebijakan bank sentral, dan terakhir faktor sentimen yang bisa diukur
berdasarkan angka credit default swap (CDS) Indonesia. Mencermati dinamika
global dan fundamental domestik, panduan itu kami atur ulang sebagai
SLIVE," papar Budi. Dia menambahkan, sentimen menjadi faktor utama
terutama sebagai dampak perubahan drastis kebijakan The Fed yang mengakhiri
pengetatan likuiditas dan berakhirnya stimulus pajak Presiden AS Donald Trump.
Berbeda dibandingkan tahun 2018, arus modal asing mulai kembali menuju negara
berkembang.
Indonesia
mendapat apresiasi khusus tidak hanya pemilu yang berlangsung lancar, namun
kesigapan dan independensi kebijakan moneter dan fiskal dalam menghadapi
gejolak global selama tahun 2018. Angka CDS Indonesia cenderung menurun yang
menunjukkan kepercayaan investor asing bahwa risiko gagal bayar negara
Indonesia terbilang rendah.
Ada peluang Bank
Indonesia (BI) bakal melonggarkan likuiditas termasuk melalui penurunan suku
bunga bila the Fed memang tidak lagi menaikkan bunga sementara penyaluran
kredit masih belum memuaskan. Budi menyebut spread antara suku bunga Bank
Indonesia baik terhadap proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
terbilang tebal setelah kenaikan pesat bunga selama tahun 2018 lalu.
Berdasarkan
panduan SLIVE, Budi melihat alokasi arus modal asing di pasar surat berharga
negara (SBN) akan lebih besar ketimbang pasar modal. Investor asing
memanfaatkan imbal hasil SBN yang masih relatif tinggi sejalan dengan penurunan
yield T-bond dan peluang penguatan rupiah hingga akhir tahun. Terlebih lagi
risiko kelebihan penawaran SBN relatif terbatas mengingat pemerintah telah
lebih awal menerbitkan (front-loading) jelang akhir tahun lalu. "Semarak pada
pasar SBN menjadi semacam prasyarat peluang kenaikan di pasar saham yang juga
menunggu penguatan daya beli sekira pemerintah mampu memacu kinerja ekspor
manufaktur dan pariwisata sebagai mesin penghasil valas selain komoditas
primer," ungkap Budi.
Budi
memproyeksikan imbal hasil saham selama tahun 2019 ini sejalan dengan
pertumbuhan laba perusahaan sebesar 10-12% sehingga IHSG berpeluang ditutup
pada 6.800-6.900 pada akhir tahun. Imbal hasil ini menarik dibandingkan inflasi
yang diproyeksikan sekitar 3% hingga 4%.
Saat ini arus
modal asing yang masuk ke pasar modal telah mencapai Rp 15,21 triliun sejak
awal tahun. Sementara, total dana asing yang masuk di pasar modal dan obligasi
telah mencapai US$ 6 miliar, jauh lebih besar dari tahun 2018.